Kamis, 13 Januari 2011

Kisah Negeri Antah Berantah


CERMIN SUATU BANGSA.

Adalah suatu negeri di antah berantah yang rakyatnya sedang berjuang melepaskan diri dari belenggu keterpurukan dan kungkungan tirani penguasanya.

Sekilas tentang keadaan negeri itu.
Negeri itu, sesungguhnya negeri yang subur makmur, gemah ripah loh jinawi istilah kita. Alamnya sangat mendukung. Rakyatnyapun sesungguhnya pekerja keras dan petarung sejati. Dimasa lalu, rakyat negeri itu dengan gigih berani dan heroik membela negerinya dari penjajahan bangsa asing tanpa kenal menyerah.

Namun nasib malang menimpa mereka. Justru setelah kemenangan atas bangsa asing diraih mereka, tanpa mereka duga, masuk dalam perangkap yang sangat licik dan halus. Mereka dikuasai oleh para pengkhianat bangsanya sendiri. Lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya.

Sekian puluh tahun rakyat negeri itu masuk ke dalam penjajahan baru. Penjajahan yang sangat halus dan licik. Para penjajahnya sangat lihai memainkan perannya seolah mereka adalah pemimpin dan perduli akan keadaan rakyatnya. Padahal sesungguhnya, yang diperdulikan oleh para penguasanya adalah kemakmuran diri dan kelompoknya sendiri.

Banyak sudah sumber daya alam yang dikeruk habis untuk kepentingan mereka sendiri. Rakyat hanya mendapat bagian yang sangat kecil. Tak heran, seberapa luasnya hutan di negeri itu di babat, seberapa banyaknya cadangan minyak yang digali, seberapa banyak tambang emas yang ditambang, seberapa banyak pabrik dibuat, nasib rakyatnya tetap saja miskin. Hanya segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan saja yang dapat menikmati kemewahan dan kenikmatan hidup.

Rezim demi rezim berganti, trah demi trah mengambil alih kekuasaan, namun nasib rakyat negeri itu tak juga berubah. Karena anak cucu dan pengikut penguasa negeri itu memang sudah menanamkan orang-orangnya (generasi penerusnya) untuk tetap menguasai negeri itu, tanpa disadari oleh rakyatnya. Maka tak heran, seberapapun rakyat negeri itu berusaha mengganti pimpinan mereka, namun mereka tetap berada dalam lingkaran kekuasaan para penguasanya yang licik dan haus kekuasaan dan kekayaan. Rakyat negeri itu selalu tertipu.

Konon, banyak sudah bahasan dari para pakar dan elemen masyarakatnya, termasuk para pemuka agamanya tentang prilaku para penguasa negeri, namun prilaku mereka tetap saja tidak perduli. Tetap melakukan hal-hal yang buruk dan semau hatinya dalam memegang jabatan yang mereka miliki, tanpa perduli dengan keadaan rakyatnya. Para penguasa negeri itu, dengan tanpa rasa malu, sibuk dengan pesta pora dalam kemewahan dan kejayaannya. Mereka (para penguasa negeri itu) sudah tak perduli lagi dengan yang halal. Mereka tak segan-segan mengambil yang haram. Dengan liciknya para penguasa menggunakan dalil-dalil agama yang dianut oleh rakyatnya, untuk menipu. Ditampilkannya para pemuka-pemuka agama yang sudah mereka “beli” untuk menyampaikan “kebenaran” kepada rakyatnya. Mereka gunakan jubah-jubah keshalehan untuk mengelabui rakyatnya. Mereka gunakan mahkota nasionalis dan patriotisme bangsanya untuk melancarkan aksi liciknya. Mereka gunakan segala hal, hanya demi melanggengkan kekuasaan dan kemewahannya.

Mereka buat aturan-aturan, undang-undang seenak hati mereka. Mereka buat aturan yang hanya menguntungkan diri mereka sendiri. Kalaupun mereka mengeluarkan aturan yang seolah mendukung dan membela rakyat, itu hanya segelintir dan dibatasi hanya guna mengelabui rakyatnya dan memproklamirkan diri mereka sendiri, kalau mereka perduli dengan rakyat.

Mereka biarkan rakyatnya bodoh, supaya tidak bisa mengusik eksistensi mereka. Sekolah dipersulit. Dengan licik mereka mempropagandakan wajib belajar, namun hanya sebatas jenjang tertentu. Sekolah gratis, hanya propaganda kosong, nyatanya rakyat masih harus membayar mahal untuk pendidikan anak-anaknya. Para penguasa itu juga tak perduli dengan anak-anak bangsa yang pandai dan jenius. Padahal, di negeri-negeri tetangga sekitar mereka, para pemimpinnya sangat menghargai dan mendukung anak-anak bangsa yang pandai dan jenius untuk memajukan negeri dan bangsanya.  Tak heran akhirnya banyak anak bangsa yang pandai dan jenius negeri itu, lari ke negeri lain dan akhirnya dimanfaatkan untuk kejayaan dan kebesaran negeri lain.

Bahkan, dengan tanpa rasa malu, penguasa negeri itu sampai menjual rakyatnya ke negeri lain. Rakyatnya dijadikan budak di negeri lain, hanya kembali untuk mengeruk kekayaan dari devisa yang masuk dan akhirnya semakin memuluskan mereka untuk berfoya-foya dalam kemewahan hidup mereka. Tak sedikit, rakyatnya yang menjadi budak di negeri lain itu meregang nyawa hanya demi menghidupi para penguasanya.

Bahkan uang yang seharusnya diterima oleh rakyatnya yang tengah tertimpa musibahpun, mereka curi dengan cara yang sangat licik. Mereka lebih tunduk kepada penguasa dan pengusaha asing, hanya demi untuk menerima sogokan yang semakin memenuhi kantong-kantong mereka. Mereka tak perduli dengan usaha dan penghidupan rakyatnya. Mereka terus berlomba mencari peluang untuk mengeruk harta dan kekayaan negeri itu sehabis-habisnya. Sungguh sangat keji dan nista para penguasa negeri itu.

Mereka benar-benar tak perduli dengan keadaan rakyat dan negerinya. Yang mereka perdulikan hanya kekuasaan dan kekayaan mereka sendiri.

Tak perduli apakah rakyat bisa makan ?  Tak perduli apakah rakyat memiliki mata pencarian ?  Tak perduli apakah rakyat memiliki tempat berlindung ? Tak perduli rakyatnya banyak yang meregang nyawa karena tak mampu berobat. Bahkan tak perduli apakah rakyat akan hidup atau mati. Mereka hanya perduli diri, keluarga dan kelompoknya saja. Mereka sesungguhnya Penjajah Sejati bagi rakyat dan negerinya.

Dalam kebodohan dan keterbatasannya, dan dalam keputus asaan, rakyat negeri itu berfikir, apa penyebab para pemimpinnya (penguasa) itu bersikap demikian ?  Kenapa para pemimpinnya (penguasa) seakan buta, tuli dan pekak ?  Kenapa para pemimpinnya (penguasa) yang mereka harapkan dan percaya itu tak memperdulikan keadaan mereka ?  Sudah lelah dan habis rasanya tenaga dan suara yang mereka keluarkan untuk mengetuk hati para pemimpinnya itu, namun tak juga membuahkan hasil. Mengapa ?

Sesungguhnya, inti masalah dari semua ini adalah mentalitas dasar dari para penguasa (pejabat) negeri itu. Bagi para penguasa (pejabat) yang mengaku agamis, sesungguhnya mereka adalah kaum MUNAFIK. Bagi penguasa (pejabat) yang mengaku nasionalis, mereka sesungguhnya adalah PENGKHIANAT BANGSA.

Maka, apapun masukan yang diberikan kepada mereka (penguasa negeri itu), laksana siraman air di padang pasir, lenyap begitu saja tanpa bekas. Sesungguhnya, hati, pendengaran dan penglihatan mereka sudah tertutup akan kebenaran. Mereka hanyalah iblis-iblis yang berjubah malaikat. Dan ternyata rakyat negeri itu, sudah salah memilih. Rakyat memilih musuhnya sendiri yang akhirnya membinasakan diri mereka sendiri. Masihkah rakyat negeri itu bisa berharap kebaikan dari para penguasanya ?    TIDAK !

Lantas apa yang bisa rakyat negeri itu lakukan selanjutnya ?


Belajar dari negeri tetangganya, dan belajar dari pengalaman mereka sebelumnya, akhirnya rakyat memutuskan untuk bertindak. Mereka sadar, Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum (bangsa) kecuali mereka merubah diri mereka sendiri. Doa (harapan), sikap diam (biqolbih) tidak merubah keadaan, bahkan dengan mencoba memberi teguran dan peringatan secara lisan atau bil-lisan (demo), pun tidak ada bedanya, alias para penguasanya tetap saja tidak mau merubah diri, bahkan semakin menggila dan semakin licik menyalah gunakan kedudukan mereka. Akhirnya, rakyat memutuskan untuk mengambil langkah akhir, dengan kekuatan tangan (biyadih). Rakyatpun memulai kembali menghimpun kekuatan. People Power istilahnya. Rakyat sudah memutuskan untuk melakukan….Revolusi Sosial !

Atas saran dan pandangan dari seseorang anggota masyarakatnya, rakyatpun mulai mengambil langkah-langkah.

Pertama.
Buang jauh-jauh Politisi muka lama yang sudah jelas-jelas musuh mereka. Buang jauh-jauh Partai lama yang sudah jelas hanyalah kendaraan musuh mereka untuk membinasakan mereka. Tidak perduli, apakah partai itu berbasis agama, ataupun nasionalis. Karena sudah terbukti, hanya digunakan di pakai oleh musuh-musuh mereka untuk menyengsarakan dan bahkan kalau perlu membinasakan mereka semua.

Kedua.
Harus berani mengambil langkah patriotis. Harus berani memerangi penguasa mereka yang lalim dan licik. Karena para penguasa yang senang dengan foya-foya dan kemewahan itu adalah manusia-manusia pengecut. Para penguasa itu adalah orang-orang yang takut mati dan takut hidup susah. Sementara rakyat, sudah setiap waktu, sudah setiap desah napasnya harus berhadapan dengan pertarungan dan maut. Dan penyebab mereka demikian itu karena ulah para penguasanya sendiri.

Belajar dari sejarah perjuangannya dulu, saat rakyat negeri itu mengambil langkah frontal dengan membakar habis (menghancurkan) satu kotanya sendiri daripada dikuasai musuh, maka kali inipun rakyat negeri itu memutuskan bila perlu kembali mengambil langkah itu. Implementasinya, dari pada mereka memilih musuh mereka untuk “memimpin”, mereka putuskan lebih baik tidak ada pimpinan dulu dimasa mendatang.

Ketiga.
Merapatkan barisan untuk bersatu dalam menentukan langkah ke depan, utamanya dalam menseleksi dan menyaring calon Pemimpin yang jujur, amanah dan nasionalis.

Keempat.
Dalam keadaan darurat, mereka bersiap membentuk Dewan Rakyat yang anggotanya terpilih dan berani teken kontrak dengan mereka, bila mengambil keputusan yang tidak Pro Rakyat, maka mereka siap diadili oleh rakyat. Hukum mati. Karena sesungguhnya hal itu suatu pengkhianatan.

Kelima.
Mereka mulai bersiap memasyarakatnya ide dan langkah-langkah mereka itu secara estafet. Memahami dan bertekad akan melakukan langkah itu untuk diri mereka sendiri dahulu, kemudian menyebarkannya ke orang-orang terdekat. Dimulai dari keluarga, teman dekat, para tetangga, rekan-rekan bisnis, dan orang-orang yang mereka kenal. Mereka sadar, butuh waktu. Untuk itu mereka harus kerja keras. Semakin keras dan giat bekerja, semakin cepat dapat merubah hidup mereka. Ya, bekerja keras dan giat serta semangat sampai tiba saatnya nanti, mereka bergerak bersama dan membersihkan seluruh tingkatan kekuasaan dari manusia-manusia yang mendudukinya sekarang. Tak ada lagi tempat untuk manusia-manusia yang sudah dan sekarang sedang duduk disana. Sudah cukup waktu yang diberikan kepada mereka (para penguasa) itu. Sudah cukup para penguasa itu bersenang-senang dan berfoya-foya menuruti segala hawa napsunya. Dudukkan orang-orang baru, yang berani teken kontrak, bila mereka mengkhianati (tidak memperdulikan rakyat banyak dan lebih memperdulikan sekelompok orang atau orang asing), maka mereka akan diadili oleh rakyat sendiri. Hukum mati !!

Itulah kisah suatu negeri. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kisah itu. Salam.

Rabu, 12 Januari 2011

Negeri Lelucon

Media Indonesia
Senin, 10 Januari 2011 00:00 WIB


DI manakah negeri tempat terdakwa penggelapan pajak leluasa keluyuran ke mancanegara? Di manakah pula tersangka atau terdakwa bisa menjadi kepala daerah?

Jawabnya, di negeri lelucon bernama Indonesia, tempat hukum bisa dipermainkan semaunya. Inilah negeri tempat penyelenggaraan negara berlangsung suka-suka, seperti main-main.

Lelucon paling mutakhir adalah pelantikan Jefferson Rumajar, terdakwa kasus korupsi yang tengah mendekam di penjara Cipinang, sebagai Wali Kota Tomohon, Sulawesi Utara.

Jefferson didudukkan ke kursi pesakitan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika seseorang dijadikan tersangka oleh KPK, bisa dipastikan dia akan menjadi terdakwa dan kemudian terpidana. Sebab, bukankah KPK tak punya wewenang menghentikan penyidikan perkara korupsi sebagaimana kepolisian atau kejaksaan?

Akan tetapi, pemerintah tetap melantiknya karena statusnya masih terdakwa, alias belum berkekuatan hukum tetap sebagai terpidana. Ditilik dari prinsip asas praduga tak bersalah, ia berhak menjadi kepala daerah.

Begitulah, Jefferson tetap dilantik menjadi kepala daerah atas dasar akal-akalan terhadap hukum positif.

Maka, bertambahlah jajaran kepala daerah yang menyelenggarakan pemerintahan daerah dari balik jeruji penjara. Bahkan, Jefferson dengan gagah perkasa melantik sejumlah pejabat Kota Tomohon di LP Cipinang. Celakanya negaralah yang memfasilitasi berlangsungnya lelucon itu.

Hukum positif rupanya tidak mengenal rasa malu. Menjadi pejabat pun rupanya tidak memerlukan rasa malu. Buktinya, pejabat Kota Tomohon tidak malu dilantik oleh seorang terdakwa, dan tidak malu dilantik di dalam penjara.

Pelantikan Jefferson jelas merupakan ironi demokrasi. Demokrasi ternyata gagal menghasilkan kepala daerah yang jujur, bersih, dan tahu malu.

Partai politik menyumbang andil yang besar. Sebab, alih-alih melakukan pendidikan politik agar rakyat memilih kepala daerah yang jujur, parpol lebih berkonsentrasi merebut kekuasaan untuk memenangkan calonnya, termasuk dengan cara menghalalkan politik uang.
Bukannya melakukan pendidikan politik, partai politik plus kandidat kepala daerah yang diusungnya, malah melakukan pembodohan politik kepada rakyat.

Itulah sebabnya banyak tersangka terpilih sebagai kepala daerah atau kepala daerah terpilih yang kemudian menjadi tersangka. Sepanjang tahun 2010 tercatat 148 dari 244 kepala daerah menjadi tersangka.

Jika tetap berpegang pada teks hukum positif, bakal bertambah tersangka atau terdakwa yang dilantik sebagai kepala daerah.
Itu artinya negeri ini masih akan menjadi negeri lelucon, entah sampai kapan. Dan, dunia pun tertawa.



Kritik Keras Tokoh Agama

Media Indonesia.com
Rabu, 12 Januari 2011 00:01 WIB

KRITIK datang silih berganti ditujukan kepada pemerintahan Presiden Yudhoyono. Bahkan, pada hari yang sama, Senin (10/1), kritik keras dilontarkan dua kalangan yang berbeda.

Yang pertama berasal dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Ia menilai negara gagal meletakkan fondasi dasar bagi pencapaian kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Sumber kegagalan itu ialah pemimpin yang hanya mementingkan pembangunan citra.

Kritik dari partai oposisi tentu perkara yang lazim. Sepatutnya partai oposisi setiap awal tahun, terlebih di hari ulang tahun partai, menyampaikan evaluasi yang tajam kepada yang berkuasa.
 
Yang extraordinary ialah bila pemuka lintas agama juga menyampaikan kritik, bahkan lebih keras dan lebih pedas.
 
Dan itulah yang terjadi. Sembilan pemuka agama, terdiri dari Syafii Maarif, Andreas A Yewangoe, Din Syamsuddin, Uskup D Situmorang, Biksu Pannyavaro, Salahuddin Wahid, I Nyoman Udayana Sangging, Franz Magnis Suseno, dan Romo Benny Susetyo, menganggap pemerintahan Presiden Yudhoyono telah gagal mengemban amanah rakyat. Sudah terlalu banyak kebohongan yang dilakukan pemerintah atas nama rakyat.

Lebih dari itu, para pemuka agama itu berjanji mengajak umat mereka untuk memerangi kebohongan yang dilakukan pemerintahan Presiden Yudhoyono.

Mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif bahkan mengingatkan pemerintah, mulai presiden hingga kepala desa, untuk membuka telinga lebar-lebar. "Telinganya harus dibuka untuk mendengar aspirasi rakyat. Jangan ditutupi telinganya."

Pemuka agama meminta pemerintah membuka telinga, jelas, seruan yang sangat tajam. Ini menunjukkan pemerintah, yang dipilih rakyat itu, sudah tidak peduli dengan suara rakyat. Membuka telinga saja enggan, apalagi mengubah kebijakan yang keliru. Dari perspektif itu, tidaklah mengherankan bila tingkat kepuasan publik terhadap Yudhoyono terus merosot sejak Juli 2009.

Menyebut pemerintah berbohong, jelas, penilaian yang sangat negatif. Sebab itu menyangkut legitimasi moral yang mendalam. Bukankah siapa pun yang berbohong tak pantas dipercaya?

Terlebih, karena yang tidak percaya itu adalah para pemuka agama, yang menyandarkan diri pada nilai-nilai yang dipertanggungjawabkan terutama secara vertikal, yaitu kepada Sang Khalik.

Suara mereka jelas suara yang bersih dari kepentingan sempit. Suara mereka bukan suara oposisi yang memang selayaknya menekankan segi-segi kegagalan yang berkuasa. Oleh karena itu, sesungguhnya tiada alasan bagi Presiden Yudhoyono untuk tidak mengindahkannya.

Pertanyaannya, apakah kritik itu didengarkan? Apakah pemerintahan Presiden Yudhoyono membuka telinga?

Tak mudah untuk jujur. Lebih mudah memproduksi kebohongan demi kebohongan untuk menutupi kegagalan. Padahal, honesty is the best policy. Termasuk, jujur untuk mengakui gagal....


Ha…ha…ha. Negeri Lelucon. Negeri Dongeng. Dan entah apa lagi yang pantas untuk menjuluki negeri yang sesungguhnya indah, subur, makmur dan bersahaja ini. Lucu, tertawa, sekaligus menangis.

Beginikah nasib bangsa dan negeri ini ?  Haruskan bangsa ini terus mengalami penistaan seperti ini ? Sampai kapankah, bangsa dari negeri subur makmur ini bisa berdiri tegak tanpa rasa malu oleh ulah dan tingkah pola memuakkan dari para “pemimpinnya” ? Bilakah bangsa ini tak lagi harus tertunduk malu akibat dipimpin oleh segerombolan kriminal ?

Sesungguhnya, yang membuat bangsa ini sering dilecehkan oleh bangsa lain adalah bukan karena kebodohan atau kemiskinan rakyatnya, tapi oleh…...PEMIMPINNYA !!  Dan itu, selalu ditampik dan dibantah oleh PARA…SANG….PEMIMPIN ! Dengan seribu dan sejuta alasan. Dengan segudang diplomasi yang memuakkan !!!!

Tidak malu-malunya “sang pemimpin” negeri ini mempertontonkan drama kebodohannya !  Tidak malu-malunya “sang pemimpin” negeri ini berkelit dari seluruh tanggung jawabnya ! Tidak malu-malunya “para pemimpin” negeri ini duduk santai di singgasana kekuasaannya, seakan singgasana kekuasaan itu milik nenek moyangnya sendiri ! Suka-suka hati buat kebijakkan ! Suka-suka hati membolak-balik aturan ! Suka-suka hati mempermainkan nasib ratusan juta bangsa ini hanya demi kesenangan dan hawa napsunya !!!

Tanpa rasa malu, mengajukan kenaikan gaji dan tunjangan, seakan tak puas dengan harta yang sudah demikian melimpah. Tanpa rasa malu mereka berebut kue kekuasaan ini. Membagi-bagi harta milik rakyat seenaknya dengan dalih hak dan kewenangannya mengatur anggaran !  Gaji naik, tunjangan naik. Gedung minta diperbaharui. Rumah minta di perbaiki. Jalan-jalan minta diongkosi. Apa saja minta di layani. Sementara masih banyak rakyat yang kelaparan. Banyak gedung sekolah yang roboh. Banyak rakyat sakit yang meregang nyawa karena tidak bisa (mampu) berobat. Banyak ibu-ibu yang stres lalu bunuh diri dan membunuh buah hatinya karena tak kuat terhimpit beban hidup yang semakin berat. Banyak anak bayi yang busung lapar. Kemana mata, telinga dan hati kalian  Wahai para “sang pemimpin” ??!!

Belum cukup dengan segudang fasilitas dan tunjangan, masih juga kalian.... K O R U P S I !. Maling !!

Kalian tidak yakin akan mati ?! Kalian tidak yakin adanya Sang Maha Mengawasi ?! Katanya kalian beragama ? Katanya kalian berfalsafah Pancasila ?! Mana semua itu ?! Apa kalian tidak beragama ?! Apa kalian tidak percaya adanya Tuhan ?! Apa kalian…..Sss…sett…ttaaaannn ??!!!

Sudah lelah rasanya segala elemen bangsa dan rakyat ini memperingatkan kalian. Tapi kalian, wahai para “sang terhormat”…. Wahai “para pembesar”….tidak menggubris !!! Kami muak !!!

Kalian terus pertontonkan drama memuakkan dan menyakitkan. Kalian terus lakoni peran pecundang tanpa rasa malu sedikitpun. Bahkan agama kalian bawa-bawa untuk menipu ! Kalian memang….Iblis !!!

Rakyat terus kalian sakiti. Rakyat terus kalian bodohi. Rakyat terus kalian pecundangi. Apa kalian menunggu murka rakyat kalian ?

Sikap dan tindak tanduk kalian seperti orang tak bermoral, bahkan tak ber-Tuhan. Kalian berlindung pada hukum yang kalian buat sendiri dengan seenaknya. Bahkan hukum Tuhan-pun bila perlu kalian permainkan !!

Enyahlah kalian semua !!!!!

Abunawas Modern

Foke Klaim Berhasil Bangun Jakarta
"Selama saya Gubernur, anggaran naik dari Rp 25 triliun jadi Rp 30 triliun," ujar Foke.
Rabu, 12 Januari 2011, 15:22 WIB
Maryadie, Dwifantya Aquina

Gubernur DKI Fauzi Bowo (VivaNews/ Nurcholis Anhari Lubis)

VIVAnews - Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengklaim pemerintahannya selama ini telah berhasil mencapai prestasi puncak dalam hal peningkatan dana APBD. Selama lima tahun terakhir, anggaran terus meningkat untuk pembangunan ibukota.

"Selama saya jadi Gubernur, anggaran naik dari Rp 25 triliun menjadi 30 triliun," ujar Fauzi saat meresmikan Kantor Pelayanan Pajak Terpadu di Kantor Kecamatan Tebet, Jakarta, Rabu, 12 Januari 2011.

Foke, sapaan akrabnya, menyatakan sejak awal dia resmi memimpin pemerintahan daerah, anggaran meningkat hingga 20 persen. Keberhasilan ini yang kemudian digadang-gadangkan Foke mampu memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat Jakarta.

"Di tahun pertama menjadi Gubernur, anggaran belanja dan pendapatan daerah (APBD) DKI hanya sebesar Rp 25 triliun. Tapi di tahun 2011 ini APBD DKI menjadi Rp 28 triliun dan di tahun 2012, saya optimis anggaran DKI akan mencapai Rp 30 triliun," ungkapnya.

Selain itu, sosok yang dikenal sebagai 'Ahlinya Jakarta' ini mengatakan tak dapat dipungkiri, dana pembangunan ibukota mayoritas berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Maka dari itu, pelayanan yang terkait  dengan penerimaan seperti pajak harus dioptimalkan.

"Saya harapkan pelayanan pajak akan jauh lebih baik lagi dengan adanya kantor pelayanan pajak terpadu ini. Nantinya pembayaran pajak bisa dilakukan satu atap di sini," jelasnya.

Pelayanan bagi para wajib pajak dipastikan bisa lebih cepat dan terorganisir dengan baik melalui sistem baru ini. Semakin optimalnya pelayanan maka akan semakin menambah PAD DKI untuk membangun Jakarta.

"Masa orang mau bayar pajak aja mesti lama ngantre. Sekarang katanya pembayaran bisa dilakukan dalam 3 menit, kalau bisa 3 detik," selorohnya.

• VIVAnews


Ironis, sebuah dagelan (lelucon) yang tidak lucu.

Satu lagi, berita tentang keanehan di negeri ini. Indonesia, bak negeri dongeng 1001 malam dengan segala peristiwanya. Ya, seolah negeri ini adalah negeri dongeng. Semua kisah dan lelucon hanya ada di negeri ini, tidak di negeri lain.

Pernyataan atau Klaim, atau apalah namanya, yang diutarakan oleh salah seorang “pembesar” negeri ini seperti dimuat dalam berita diatas, adalah sebuah contoh lagi. Bagaimana para “pembesar” negeri ini kembali melakukan pembodohan publik.

Klaim atau pernyataan tersebut diatas, yang dinyatakan oleh seseorang yang terlanjur mengangkat dirinya sebagai “Ahlinya Jakarta” itu, adalah sebuah upaya pembodohan sekaligus pembohongan publik. Sebuah Klaim atau pernyataan yang sangat tidak lucu, bila mendasarkan keberhasilan dalam memimpin itu didasarkan pada peningkatan anggaran.

Apalah artinya peningkatan anggaran, bila hal tersebut tidak dirasakan langsung, atau berpengaruh langsung terhadap kehidupan dan perekonomian masyarakat ? Dimana letak keberhasilan memimpinnya ?  Penilaian keberhasilannyapun dinyatakan oleh dirinya sendiri. Ibarat orang bercermin, bisakah dikatakan orang itu bercermin tanpa ada cerminnya ?  Atas dasar apa, bahwa dirinya sudah gagah, rapih dan bersih bila tanpa cermin sebagai pemantul ?  Layaknya, masyarakatlah yang memberi penilaian atas kinerjanya. Bukan dirinya sendiri. Sebuah penilaian yang super subjektive dan egois. Sok PeDe dan ke-ge’er-an namanya.

Peningkatan pendapatan keuangan. Bila hanya itu yang dianggap keberhasilan, tak perlu seorang Gubernur. Cukup pekerjakan tukang pungut pajak saja. Atau kalau perlu….Debt Collectornya sekalian. Dijamin, anggaran pendapatan akan meningkat pesat.

Dalam pernyataan-pernyataan lainnya, sang pembesar ini yang “Ahlinya Jakarta” mengeluarkan statement-statement atau pernyataan-pernyataan yang lebih aneh lagi. Seperti masalah banjir. Cuacalah yang disalahkan. Pemerintah kota lainlah yang ikut disalahkan.

Demikian pula dalam mengatasi kemacetan lalu lintas di Jakarta, sang “Ahlinya Jakarta” ini kembali membuat pernyataan yang idiot, menyalahkan sepeda motorlah yang menjadi penyebab utama kemacetan lalu lintas di kota yang dipimpinnya.

Dua pernyataan terakhir diatas, menunjukkan sesungguhnya siapa sang “pembesar” kota Jakarta itu. Seseorang yang tidak pantas dan layak untuk memimpin kota yang berpenduduk sekitar 9 juta jiwa ini. Seseorang yang bertolak belakang dengan sesumbar dan janji muluknya sewaktu ingin menduduki kekuasaan di sebagian wilayah negeri ini.

Seakan sang pembesar itu sedang mencari pembenaran. Tidak fair dan jantan mengakui akan ketidak mampuannya menjadi pemimpin.

Betapapun, seseorang yang telah diberi legalitas dan kekuasaan, seharusnya mampu mendaya gunakan kekuasaannya itu untuk kemajuan dan peningkatan, tanpa berusaha mencari alasan (yang tidak lucu dan tidak masuk akal) bila tidak berhasil. Seseorang yang sudah mengajukan diri (meminta dipilih) untuk memimpin, ya…pimpinlah masyarakat ini dengan segala permasalahannya.  Jangan lari dari tugas (janji) dan tanggung jawabnya.

Kapan negeri ini akan maju, bila para pembesar negeri ini selalu bersikap demikian ?

Selasa, 11 Januari 2011

DPR Bentuk Panja Antimafia Pajak

VIVAnews - Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat sepakat membentuk Panitia Kerja Pemberantasan Mafia Pajak. Panja ini terbentuk setelah Komisi yang membidangi hukum itu menggelar rapat internal, Rabu 12 Januari 2011.


Panja ini akan dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Amanat Nasional Tjatur Sapto Edy. "Pleno Komisi III telah menugaskan kepada ketua untuk menyusun proposal kerja, termasuk tujuannya, latar belakangnya, siapa saja yang akan dipanggil. Itu akan disiapkan oleh Ketua Panja bersama dengan pimpinan Komisi III," kata Benny K Harman, Ketua Komisi III.


Rencananya minggu depan hasil rapat Komisi III mengenai rencana kerja Panja ini akan diajukan kepada Paripurna DPR agar disahkan. "Setelah itu nanti Panja diharapkan akan bekerja," ujar Benny.


Panja ini bukan untuk mengambil alih penanganan kasus yang pada tahapan saat ini dilakukan oleh aparat penegak hukum di kepolisian. Panja ini, kata Benny, pada esensinya adalah untuk memonitor, mengawasi, membantu, memperkuat, institusi penegak hukum, dalam hal ini kepolisian. Kepolisian diupayakan agar memiliki keberanian moral untuk melakukan proses hukum tanpa pandang bulu untuk menyelesaikan mafia pajak dengan meminta semua pihak yang ditengarai terlibat dalam kasus mafia pajak ini dipanggil dan diperiksa agar kemudian bisa diproses sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.


"Panja ini bukan untuk mempolitisasi kasus mafia pajak. Tujuan pembentukannya adalah untuk memberikan solusi terhadap sulitnya kasus mafia pajak ini ditangani oleh pihak kepolisian," kata Benny. "Mudah-mudahan Panja ini nanti akan memberikan harapan kepada publik untuk memperkuat kinerja institusi penegak hukum," tambah Benny.


Siapa saja yang akan dipanggil, tambah Benny, nanti akan berdasarkan kesepakatan yang tertuang dalam proposal kerja Panja. "Apakah kita akan panggil Gayus atau siapa saja yang terkait, itu nanti akan disiapkan oleh Ketua Panja," kata Benny.


Sementara itu, politikus Golkar Chairuman Harahap meminta Benny K Harman dan BHD mengungkap kesulitan penyidik menangani kasus Gayus. "Diungkap saja, Itu tidak akan meruntuhkan negeri ini, justru memperbaiki. Saya kira tidak akan meruntuhkan, tidak akan menggoyang," kata Chairuman.


Menurutnya, pengungkapan itu penting agar tidak menjadi isu liar dan membingungkan. "Ini menyinggung bagaimana aparatur kita. Saya kira perlu sungguh-sungguh," kata Ketua Komisi II DPR itu.


Menurut Chairuman, mencurigakan ada yang bisa menghalangi kepala kepolisian dalam mengungkap kasus. "Akhirnya kan semua serba dugaan. Siapa bisa menghalangi Pak Kapolri, akhirnya kan munculkan pertanyaan. Benny Harman juga bisa ungkapkan sehingga jelas," kata Anggota Badan Kehormatan itu.


Chairuman meminta Bambang Hendarso juga mengungkap ke publik ceritanya  pada Benny Harman itu. "Sangat fair BHD mengungkapkan atau membantahnya," ujar Chairuman.
• VIVAnews




Tulisan diatas penulis ambil sebagai salah satu contoh, akan keanehan di negeri kita ini. Seseorang yang telah diduga sangat kuat bersalah (itu kalau penulis mengambil kalimat diplomasi yang biasa digunakan para petualang politik karena takut digugat statementnya yang mengakibatkan berakhirnya kekuasaan yang dimilikinya saat ini), melakukan tindak pidana korupsi (maling), namun kesulitan dalam membongkar jaringan kejahatannya. Kenapa ?

Kita semua sudah tahu (rahasia umum), karena itu menyangkut para “pembesar” negeri ini. Sementara bila tindak pidana itu melibatkan rakyat kecil (maling jemuran atau maling ayam, bahkan maling buah randu / kapuk atau maling sendok makan dan piring), dengan cepat aparat bisa mengungkapnya.

Para pemegang otoritas negeri ini, seakan sudah saling meng-Amini (sepakat), untuk saling setia, bahu membahu dan saling tolong menolong dalam keburukan. Saling menutupi dan saling melindungi.  Sebuah opini yang sulit untuk ditepis dan diingkari. Berapa banyak kasus kejahatan ekonomi, HAM dan kejahatan kemanusiaan lainnya, yang bila sudah melibatkan para “pembesar” maka kasusnya akan hilang lenyap, menguap begitu saja tanpa penyelesaian. Terlalu banyak untuk diungkapkan dan disebutkan satu per satu.

Sementara, berapa banyak kasus “kriminal teri” dari mulai maling jemuran, randu, sendok dan piring, bahkan sampai kasus pembunuhan yang disertai mutilasi, atau kasus jaringan teroris yang super tertutup dan rahasia, yang untuk orang awam seperti kita, rasanya sulit terbongkar, akan tetapi bisa dibongkar dan diselesaikan. Namun untuk kasus kejahatan yang melibatkan para “pembesar” hasilkan akan sudah dapat diduga….Nol Besar. Padahal publik yang bodohpun sudah dapat membedakan benang merah dan benang putihnya, dan dapat menduga, siapa-siapa yang terlibat dan bersalah dalam kasus-kasus kejahatan tersebut. Akan tetapi, aparat (pemerintah), tak mampu (atau tak mau) menyelesaikannya. Sungguh sebuah ketidak adilan.

Lantas, apa gunanya kita memilih pemerintah yang seperti ini ?  Yang hanya bisa menekan ke bawah tanpa mampu merombak dan memperbaiki pada levelnya ? Sungguh sebuah upaya dan harapan yang sia-sia.

Yang kita butuhkan, sekali lagi adalah sosok Pemimpin, bukan Pemerintah atau Penguasa.

Pemimpin yang ideal. Pemimpin yang Berani untuk menumpas segala kejahatan dan ketidak benaran. Namun sekaligus Pemimpin yang takut untuk memulai, atau melakukan tindakan yang tidak terpuji itu. Pemimpin yang punya Rasa Malu, apabila tak berhasil menjalankan peranannya. Pemimpin yang bagaikan seorang Pemimpin Barisan. Yang siap berada di depan, memberi komando, arahan dan sekaligus ikut terjun langsung menghadapi segala medan yang mungkin dilalui. Pemimpin yang menyatu dengan rakyat yang menjadi anggota barisannya. Pemimpin yang tidak saja memberi contoh, namun juga terlibat langsung dalam seluruh aktifitas Barisan, baik dalam suka maupun duka.

Sebuah ilustrasi. Bagaimana pendapat anda, bila ada seorang atau sekelompok pemimpin di negeri ini, baik itu Lurah atau Camat atau Bupati, atau Gubernur bahkan Menteri atau Presiden sekalipun yang rela tidur dan makan bersama dengan para pengungsi yang sedang mengalami musibah di tenda pengungsian ? Dia atau mereka tak akan beranjak dari rakyatnya, selama rakyatnya masih dalam kesulitan.

Idealis kedengarannya, tapi memang itu sebuah tauladan yang indah. Sosok pemimpin seperti ini yang kita butuhkan, agar bangsa dan negara ini bisa bangkit dan menjadi bangsa yang besar serta disegani dan dihormati bangsa lain. Rakyat akan menyatu hati, pikiran dan perasaannya dengan sosok pemimpin seperti ini.

Masih adakah sosok atau figur calon Pemimpin seperti ini di negeri yang kaya, subur dan makmur ini ?  Semoga.

Euforia Kekuasaan


Ani, Puan, dan Ical
Media Indonesia
Selasa, 04 Januari 2011 00:00 WIB 

TAHUN 2011 baru berumur empat hari. Namun, agenda partai-partai, terutama partai besar, mulai terseret ke pencarian tokoh calon presiden untuk Pemilihan Umum 2014 yang masih tiga tahun lagi.

Nama Ani Yudhoyono, Puan Maharani, dan Aburizal Bakrie paling santer disebut. Bahkan santer pula diperdebatkan peluang dan tantangan mereka.

Ani adalah istri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tokoh paling berkuasa di Partai Demokrat. Puan adalah putri Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Aburizal Bakrie, yang akrab disapa Ical, adalah Ketua Umum Partai Golkar.

Adakah yang salah dengan pemunculan nama-nama itu dalam bursa pencarian calon presiden 2014? Tidak ada yang salah, memang. Demokrasi telah memberi hak kepada setiap anak bangsa untuk menjadi presiden. Bukan monopoli siapa-siapa.

Akan tetapi, adalah sebuah kekeliruan besar ketika partai-partai mulai tersita oleh agenda calon presiden 2014 sejak hari ini, tiga tahun dari waktunya. Seluruh energi pemimpin partai disandera untuk kepentingan calon daripada kepentingan publik.

Coba dibayangkan kalau Partai Demokrat sejak sekarang menyepakati Ani Yudhoyono sebagai calon mereka untuk bertarung di 2014. Menurut kalkulasi para petinggi Demokrat, peluangnya semakin besar kalau berpasangan dengan Puan Maharani.

Ketetapan hati seperti itu, suka atau tidak suka, akan sangat memengaruhi fokus agenda SBY pada persoalan-persoalan rakyat banyak. Sadar atau tidak, SBY akan terbawa dalam agenda itu. Konsentrasi dan komitmen pada kepentingan publik akan dikacaukan pertimbangan-pertimbangan popularitas Ibu Ani.

Kapasitas dan kapabilitas SBY sebagai pemimpin negara terlalu dini disempitkan pada wilayah Partai Demokrat dan pencalonan Ibu Ani. Sayang tiga tahun yang tersita terlalu dini. Sayang juga bila waktu lima tahun hanya dipergunakan optimal dua tahun untuk kepentingan publik.

Dari perspektif yang sama, keluhan serupa juga patut dialamatkan kepada Ical. Sebagai anggota koalisi, apalagi sebagai ketua harian sekretariat gabungan, pencalonan dirinya oleh Golkar terlalu dini diagendakan.

Sebagai anggota koalisi, harus ada keterikatan etis juga. Tidaklah etis jika pemimpin partai anggota koalisi sejak dini memosisikan diri sebagai penantang calon-calon lain. Padahal koalisi dibentuk untuk menyatukan komitmen paling tidak agar tidak terlibat kompetisi terlalu dini. Hanya dengan begitu koalisi aman.

Bagi Puan, sesungguhnya tidak salah jika sejak awal namanya dimunculkan sebagai calon presiden. Itulah tabiat oposisi yang wajar.
Tetapi ketika dimunculkan sebagai pendamping Ani Yudhoyono, peluang Puan sebagai oposisi terancam.

Jadi, tidak ada yang salah jika mereka semua berniat menjadi presiden. Namun, momentumnya terlalu dini. Kasihan rakyat yang kepentingannya terlalu dini ditinggalkan kepentingan partai dan calon. Dan, jangan lupa untuk mengasah sensitivitas agar tidak terjebak pada nafsu-nafsu pelestarian kekuasaan klan yang terbukti keliru di masa lalu.


Pesta demokrasi masih tiga tahun lagi, tapi persiapan untuk menyambut moment itu sudah mulai terdengar saat ini, terutama oleh para pemeran utama lakon itu. Partai-partai politik dan politisi mulai ancang-ancang untuk berlomba memulai start dalam pertarungan demokrasi lima tahunan itu tanpa (seakan) tak perduli dengan tugas dan amanatnya yang mereka emban saat ini. Seakan pula tak memperdulikan keadaan masyarakat dan bangsa, serta segudang permasalahan bangsa ini yang seharusnya menjadi perhatian utama mereka. Apakah memang kekuasaan dan materi itulah yang menjadi tujuan utama mereka ?

Rakyat hanya dilibatkan saat mereka membutuhkannya. Saat mereka menginginkan dukungan, namun setelahnya, justru rakyat yang dijadikan objek dari kekuasaan yang awalnya didapatkan (dipercayakan) rakyat pada mereka. Kekuasaan di tangan mereka, seakan sebuah boomerang bagi rakyat, yang dapat mencelakai dan mencederai pemiliknya sendiri. Kesalahan siapakah ini ?

Sesungguhnya masih teramat banyak permasalahan bangsa ini yang membutuhkan perhatian khusus dan juga penanganan serius dari mereka-mereka yang telah diberi mandat dan kepercayaan oleh rakyat. Mandat dan kepercayaan yang diberikan kepada mereka, bukanlah hadiah, tapi amanat.  Amanat yang akan dimintai pertanggung jawabannya kelak. Maka, idealnya, seorang pemegang amanat adalah seorang yang bertanggung jawab.

Akan sulit rasanya kita bayangkan, dan akan tragis akibatnya bila amanat yang besar ini, jatuh ke tangan mereka-mereka yang bermental tak bertanggung jawab. Mereka akan mudah saja melepas tanggung jawab dan mengingkari amanat yang dibebankan dan dipercayakan kepada mereka. Maka yang menjadi korban akhirnya adalah rakyat jua. Disini kita sebagai rakyat, seharusnya sudah belajar banyak dan dapat membedakan dan memilih, siapa-siapakah yang pantas kita beri kepercayaan dan amanat. Kepercayaan dan amanat yang mempengaruhi kelangsungan hidup seluruh rakyat dan bangsa ini, baik masa kini maupun masa yang akan datang. Baik di generasi kita saat ini, maupun generasi kita dimasa yang akan datang.

Satu hal yang harus menjadi fokus perhatian kita, masa-masa yang lalu sudah kita dapat lihat, siapa-siapa saja yang telah memberi kontribusi positif untuk bangsa ini dan siapa-siapa saja yang belum atau tidak memberikan kontribusi positif untuk bangsa dan negara ini.

Jangan lagi kita tergiur oleh janji-janji muluk dari para petualang-petualang politik yang sesungguhnya mereka hanyalah menginginkan keuntungan untuk dirinya sendiri dan atau hanya untuk kelompok dan golongannya sendiri. Bermanis-manis kata, obral janji-janji muluk dan sibuk meniupkan angin surga pada awalnya, namun pada akhirnya, mereka jugalah yang mengingkari dan mengkhianatinya.

Jangan lagi kita terpesona oleh sosok ketampanan, kegagahan, ataupun kecantikan mereka. Kita harus jeli dan teliti, menilai mereka dari sejak awal. Track Record mereka selama ini haruslah menjadi catatan penting dalam kita memutuskan apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Masih berjuta-juta kader dan anak bangsa yang belum terekspose dan tereksplore. Masih banyak bibit-bibit bangsa yang potensial, yang dapat kita majukan. Potensi-potensi lama yang telah kita kenal dan ternyata tidak mampu membuktikan kata-kata dan ucapannya selain hanya statement-statement sepihak dari mereka sendiri tanpa didukung oleh publik luas, seharusnya, berani kita tinggalkan dan tak gunakan lagi. Itu kalau kita menginginkan perubahan. Konsistensi kita untuk meninggalkan yang lama, yang usang dan tak produktif lagi, memegang peranan penting demi perubahan kita dimasa depan.

Sesungguhnya, yang diperlukan bangsa ini, bukanlah orang-orang pintar. Yang dibutuhkan bangsa ini adalah orang-orang jujur, yang dapat memimpin bangsa ini dengan hati bersih.  Jujur kepada dirinya sendiri. Jujur kepada lingkungan keluarga, masyarakat dan bangsa. Jujur akan kemampuan dan niatan dirinya, untuk memimpin bangsa ini keluar dari kemelut yang telah sekian lama mendera dan menyelimuti bangsa ini. Itulah sesungguhnya hakikat dari seorang pemimpin.

Ya, kita membutuhkan Pemimpin, bukan Pemerintah yang hanya bisa memerintah dan atau Penguasa yang hanya perduli pada kekuasaannya saja. Kita butuh Pemimpin yang mampu berada di garis depan dan memberi bimbingan dan arahan akan langkah dan tindakan kita ke depan dengan penuh disiplin dan tanggung jawab. Pemimpin yang mampu mengajak seluruh elemen bangsa untuk bersatu padu menyatukan langkah dan kerja, demi perbaikan seluruh bangsa. Pemimpin yang mampu mengarahkan, memotivasi orang-orang pandai dan pintar, agar mengarahkan mereka dan mendaya gunakan potensi mereka ke arah yang produktif terhadap bangsa dan negara. Pemimpin yang sekaligus pula dapat mengendalikan kekuasaannya untuk mengawasi dan menindak siapapun yang melakukan tindakan-tindakan dan upaya-upaya destruktif atau kontra produktif terhadap bangsa dan negara ini. Semoga saja kita segera mendapatkan sosok Pemimpin seperti itu. Semua tergantung pada diri kita sendiri.